Kaidah Ke-34 : Pilihan Dua Hal yang Berkaitan Dengan Maslahat Dirinya dan Orang Lain
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ketiga Puluh Empat
إِذَا خُيِّرَ الْعَبْدُ بَيْنَ شَيْئَيْنِ فَأَكْثَرَ فَإِنْ كَانَ التَّخْيِيْرُ لِمَصْلَحَتِهِ فَهُوَ تَخْيِيْرُ تَشَهٍّ وَاخْتِيَارٍ, وَإِنْ كَانَ لِمَصْلَحَةِ غَيْرِهِ فَهُوَ تَخْيِيْرُ اجْتِهَادٍ فِي مَصْلَحَةِ الْغَيْرِ
Jika seseorang diberi pilihan dua hal berkaitan dengan maslahat dirinya maka dipilih sesuai keinginannya. Dan jika berkaitan dengan maslahat orang lain maka dipilih yang lebih mendatangkan maslahat bagi orang lain itu
MAKNA KAIDAH
Kaidah ini menjelaskan tentang seseorang jika dihadapkan pada dua pilihan atau lebih. Mana yang harus ia pilih ? Apakah pilihannya dikembalikan kepada keinginannya sendiri, ataukah ada ketentuan lain yang harus dipertimbangkan ?
Penerapan kaidah ini akan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena kaidah ini menjelaskan, jika pilihan tersebut berkaitan dengan kebaikan diri pribadinya, maka ia boleh memilih sesuai keinginan dan kecenderungannya. Namun jika pilihan itu berkaitan dengan kepentingan orang lain, maka ia harus memilihkan yang paling sesuai, terbaik atau paling bermanfaat bagi yang bersangkutan. [1]
DALIL YANG MENDASARINYA
Di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla:
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. [al An’âm/6:152]
Pada ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang pengurus atau wali anak yatim melakukan tasharruf (aktifitas bisnis) terhadap harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. Termasuk, apabila pengurus anak yatim dihadapkan pada dua hal berkaitan dengan kepentingan si yatim, maka ia harus memiilih yang lebih memberikan maslahat bagi anak yatim tersebut.
Ketika menjelaskan ayat ini, Imam Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah mengatakan, “Apabila dalam perkara yang berkaitan dengan hak anak yatim saja diperintahkan untuk memperhatikan hal ini [2] , maka lebih utama lagi perkara-perkara yang berkaitan dengan hak-hak kaum Muslimin secara umum yang dilaksanakan oleh para pemimpin, yaitu dalam masalah harta untuk kepentingan umum. Karena perhatian syariat terhadap maslahat umum lebih besar daripada perhatiannya terhadap maslahat yang sifatnya personal.”[3]
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak, baik berkaitan dengan permasalahan ibadah, muamalah, ataupun jinayat. Di antaranya :
1. Berkaitan dengan kaffârah (denda) sumpah. Apabila seseorang melanggar sumpahnya, maka ia diberikan beberapa alternatif dalam pembayaran kaffârah. Yaitu memberikan makan 10 orang miskin, atau memberikan pakaian kepada mereka, atau membebaskan budak.[4] Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla.
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
“Maka kaffârat (denda karena melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffâratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). [al Mâidah/5:89]
Dalam hal ini, seseorang boleh memilih salah satu dari tiga alternatif tersebut. Meskipun ia mampu membayar kaffârah dengan membebaskan budak, ia boleh memilih memberi makan sepuluh orang miskin atau memberikan mereka pakaian. Jenis pilihan ditentukan sesuai keinginan dan kecenderungan si pembayar. Karena hal itu berkaitan dengan hak pribadinya.[5]
2. Para ulama’ madzhab Mâliki, Syâfi’i, dan Hambali sepakat bahwa apabila kaum Muslimin mendapatkan tawanan perang orang kafir harbi[6] , maka pemimpin mempunyai lima alternatif dalam menyikapi tawanan tersebut. Apakah dijadikan budak, atau dibunuh, atau diambil jizyah (upeti) darinya, atau diambil tebusan darinya, atau dibebaskan begitu saja.[7] Penentuan sikap terhadap tawanan tersebut dikembalikan kepada apa yang terbaik bagi kaum Muslimin. Dalam hal ini pemimpin harus berijtihad untuk menentukan manakah yang paling sesuai dan paling maslahat dari beberapa opsi tersebut. Karena perkara ini berkaitan dengan maslahat umum kaum Muslimin.[8]
3. Berkaitan dengan fidyatul adza. Yaitu apabila seseorang mencukur rambutnya saat masih ihram dikarenakan ada penyakit di kepalanya. Maka ia wajib membayar kaffarah, dengan beberapa pilihan, yaitu berpuasa tiga hari, atau memberi makan enam orang miskin, atau menyembelih seekor kambing.[9] Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalladalam al-Qur’an Surat al-Baqarah/2 ayat ke-196.
Maka, orang yang membayar fidyatu adza ini boleh memilih yang paling mudah untuk ia bayarkan di antara ketiga pilihan tersebut. Karena ini termasuk dalam kategori pilihan yang penentuannya kembali pada keinginan orang yang mendapatkan pilihan, karena berkaitan dengan hak pribadinya.[10]
4. Seseorang yang menjadi pengurus anak yatim, ada kalanya dihadapkan pada beberapa pilihan berkait dengan harta anak yatim tersebut. Apakah ia membelikan tanah bagi anak yatim tersebut supaya di kemudian hari bisa mendapatkan hasil ? Ataukah membelikannya rumah ? ataukah menyimpankannya tanpa dikelola ? Dari alternatif-alternatif yang ada, dia harus mencarikan mana yang terbaik bagi si yatim, bukan berdasarkan pada keinginan pribadi pengurusnya. Karena itu berkaitan dengan hak orang lain maka diperhatikan perkara yang paling maslahat baginya.
KETERANGAN TAMBAHAN
Pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa seseorang yang dihadapkan pada beberapa alternatif pilihan berkaitan dengan hak pribadinya, maka ia boleh memilih sesuai keinginan dan kecenderungannya. Namun demikian, perlu diperhatikan juga apabila dari beberapa opsi itu ada yang lebih besar manfaatnya maka dianjurkan untuk dipilih. Karena itu yang lebih utama dan lebih besar pahalanya. Misalnya dalam pembayaran kaffârah sumpah. Seseorang diberi tiga pilihan sebagaimana keterangan di atas. Namun jika ia memilih membebaskan budak, maka itulah yang lebih utama karena manfaatnya yang lebih besar.
Demikian pula dalam pembayaran fidyatul adza. Seseorang diberi tiga alternatif. Asalnya, ia boleh memilih salah satu dari ketiganya sesuai keinginannya. Namun jika ia memilih menyembelih seekor kambing maka itulah yang lebih utama. Karena ditinjau dari sisi taqarrub dan pengorbanan harta yang ia keluarkan, alternatif inilah yang paling besar nilainya.[11]
Wallahu a’lam.[12]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/1432H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Syarhul Qawâ’idis Sa’diyyah, hlm. 205; al-Furruq 2/419: al-Mausû’atul Fiqhiyyah 11/67-81.
[2]. Yaitu memperhatikan perkara yang lebih bermanfaat bagi si yatim.
[3]. Al-Qawâ’idul Kubra 2/158.
[4]. Jika tidak sanggup mengerjakan salah satu dari tiga pilihan tersebut barulah diperbolehkan untuk membayar kaffarah dengan berpuasa tiga hari. (Minhâjul Muslim, hlm. 400)
[5]. Al-Furûq 2/419.
[6]. Kafir harbi adalah orang kafir yang mengikuti kewarganegaraan negri kafir yang memerangi umat Islam. (Mu’jam Lughatil Fuqahaa’, pada kata الحربي)
[7]. Kelima alternatif tersebut berlaku jika tawanan itu laki-laki yang sudah baligh. Adapun tawanan wanita dan anak-anak maka tidak diperbolehkan untuk dibunuh, sebagaimana dijelaskan dalam hadtis riwayat Bukhâri 6/148 dan Muslim 3/1364 dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu.
[8]. At Ta’lîq ‘alal Qawâ’id wal Ushûlil Jâmi’ah, hlm 202; al Mausû’atul Fiqhiyyah, 11/76.
[9]. Tentang fidyatul adza ini dijelaskan dalam HR. Bukhari no. 4517 dan Muslim no. 1201 dari Ka’ab bin Ujrah Radhiyallahu anhu
[10]. At Ta’lîq ‘alal Qawâ’id wal Ushûlil Jâmi’ah, hlm. 200.
[11]. Syarhul Qawâ’idis Sa’diyah, hlm. 205
[12]. Diangkat dari al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furuq wat Taqâsimul Badî’atun Nâfi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khâlid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cetakan kedua. 1422 H/2001 M. Darul Wathan lin Nasyr. Riyadh. Hlm. 86-87. Dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4073-kaidah-ke-34-pilihan-dua-hal-yang-berkaitan-dengan-maslahat-dirinya-dan-orang-lain.html